Siang.Panas.Sangat…Bagi mereka, tapi tidak bagiku.
Tanda timer countdown timer, berwarna merah. Rem-pun aku injak.
Ingat betul, hitungan countdown timer ini adalah yang (mungkin) terpanjang bagiku.
Meski AC sudah menyala dan lumayan dingin, tapi teriknya panas matahari masih mampu menembus kaca-kaca yang sudah berusaha sekuat tenaga melindungiku.
Diluar, anak-anak kecil penjual Koran, masih tanpa lelah, nampak semangat menjual korannya. Mmm, ada beberapa anak yang saya ingat betul mukanya, tapi tidak nampak hari ini. Ya,ya ya...saya akui kadang memang tidak membutuhkan korannya, tapi tetap ingin membelinya, karena mereka.
Lama…
Didepan saya, persis. Tiba-tiba berhenti sepeda motor butut, sangat butut. Yang saya yakin usianya jauh lebih tua banyak diatas saya. Merknya lupa…asapnya banyak sampai sesekali menghalangi pandangan mata saya. Memakai baju proyek. Lusuh. Dan membonceng anak lelaki kecil di depannya. Barangkali masih seusia anakku, Deeva. Tanpa susah payah, saya bisa melihat betapa lelahnya dia. Dari gesture badannya, dari sesekali dia mengusap pipi karena keringatnya. Dan sesekali membetulkan barang yang dibawanya. Dan celakanya, hitungan jelang warna “hijau” sepeda motor Bapak itu mogok. Yah, benar. Serius. Mogok. Dia men-starter berulang kali tetap tidak bisa.
Dan akhirnya klakson mobil dibelakang saling bersautan “meneriaki” ku, tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi di depanku.
Ya Allah, Tidak tahu kenapa.
Air mata memaksa ingin menyeruak di ujung mata saya. Tapi tetap aku tahan.
Tidak se inchi-pun aku tempelkan tanganku di klakson.
Aku biarkan mereka semua “meneriaki” ku dibelakang sana.
Aku tunggui dengan sabar Bapak itu sampai akhirnya, GOD. Alhamdulillah. It’s Wrap !!
Dia “menghilang” di jalan yang berbeda denganku.
Dan aku masih terus membayangkannya.
Betapa dia mencintai anaknya.
Betapa dia sangat ingin membahagiakan anaknya.
Betapa besar cinta kasihnya, demi anaknya.
Kamu tahu, aku dapat melihatnya dari mana?
Saat aku melihatnya membonceng anaknya, di depan. Sementara di belakang, dia ikat kuat-kuat sepeda plastik roda tiga, dengan tali rafia lusuh, masih lengkap dengan plastik pembungkusnya, nampak baru saja dibeli. Dan sambil menstarter sepeda bututnya, dia pegangi anaknya erat. Sambil sesekali khawatir sepeda baru untuk buah hatinya itu terjatuh,
Tuhan, betapa bahagianya anak itu.
Memilki Bapak dengan cinta kasih luar biasa.
Akhirnya aku tidak kuasa menahan lagi.
Ya benar, siang hari itu. Dijalan. Sendiri. Saya menangis.
Cengeng memang.
pic: courtesy "Father & Son" and "La Vita e bella" the movie
Thursday, May 20, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment